2019 Japan Trip Spring, Kanto Area

Kunjungan ke Jepang ini sudah saya rencanakan sejak satu tahun lalu, tepatnya saya membeli tiket selang 6 bulan setelah kembali dari perantauan di Australia. Saat itu seorang teman se-hobby mengabari saya kalau tiket.com sedang ada promo potongan Rp. 500.000 untuk pembelian tiket diatas Rp. 4jt. Sudah lama sekali saya ingin ke Jepang untuk menyaksikan langsung sakura bermekaran. Maka dengan niat saya coba memanfaatkan promo ini untuk pergi ke Jepang di musim semi yaitu Maret-April 2019 hanya berdua dengan kakak perempuan. Tentunya karena tujuan utama saya adalah melihat sakura maka hal yang pertama saya lakukan adalah mencari info kapan sakura blooming di wilayah Kanto / Kansai.

Jujur saat itu saya masih belum menentukan apakah mau pergi antar kota atau satu propinsi saja, jadi tiket pulang dan pergi tidak kami beli di waktu yang bersamaan. Namun setelah melakukan banyak survey ternyata wilayah Kanto saja banyak sekali tempat yang menarik dikunjungi, akhirnya kami memutuskan kita berkunjung ke satu propinsi saja, selama seminggu dulu menyesuaikan dengan budget yang kami miliki, maklum bagi saya untuk negara Asia Jepang termasuk mahal biaya hidupnya.

Sabtu 23 – Minggu 24 Maret 2019, Jakarta – Tokyo

Kami berangkat dengan pesawat garuda dari Soe-Hatta Terminal 3. Saat itu harga tiket yang kami dapatkan adalah 3.2jt/orang (one way). Keberangkatan dari Jakarta pukul 23.50 malam sampai di Tokyo-Haneda pukul 08.50 pagi.

Hal pertama yang kami lakukan begitu tiba setelah melewati immigrasi & mengambil bagasi adalah membeli Tokyo JR Wide Pass & Suica Card yang dapat dibeli di pusat tourist information. Sekedar informasi saya tidak membeli JR Pass karena tidak ada rencana untuk pergi keluar dari propinsi Kanto. Berhubung visa waiver berlaku selama 3 tahun berharap dikesempatan lain bisa mengunjungi wilayah lain Jepang di musim yang berbeda. Jadi itinerary yang saya buat adalah hanya untuk mengunjungi Tokyo, Yokohama, Kamakura dan Narita saja.

Kiri: JR Tokyo wide pass yang bisa dipakai selama 3 hari untuk berpergian dengan kereta JR. Kanan: Suica card.

Untuk lebih jelasnya tentang jenis-jenis tiket:

JR Tokyo wide pass adalah, tiket kereta seharga 10000 JPY yang berlaku untuk 3 hari dan dapat digunakan untuk berpergian ke berbagai kota dengan menggunakan kereta JR (Japan Rail) namun terbatas untuk propinsi Kanto saja. Anda dapat menentukan dari tanggal berapa sampai berapa tiket tersebut ingin digunakan, nantinya petugas akan mencetak tanggal berlaku tiketnya.  Tiket ini hanya dapat dibeli di Jepang. (info lengkap http://www.jp-rail-id.com/guidebook/new-jr-tokyo-wide-pass/)

Perbedaannya dengan JR Pass adalah, JR Pass dapat digunakan untuk bepergian ke seluruh kota di Jepang yang menggunakan kereta Japan Rail yang mana terdapat 2 pilihan yaitu berlaku untuk 1 minggu seharga 260 USD dan 2 minggu seharga 416 USD. Tiket ini hanya diperuntukan untuk turis, dan harus beli diluar jepang. Di Indonesia sendiri sudah banyak agen tour yang menjual JR Pass, jadi anda tidak akan susah mendapatkannya. (info lengkap: https://www.jrpass.com/)

Suica Card, fungsinya sama seperti Flashcard BCA atau e-money Mandiri di Indonesia, satu kartu dapat digunakan untuk naik MRT dan belanja beberapa tempat (mini market maupun beberapa kios lainnya). untuk mendapatkan suica card anda harus deposit 500 JPY yang mana dapat diambil kembali saat anda akan mengembalikan kartu (jika mau, saya pribadi sengaja menyimpannya).

Dari Haneda untuk menuju kota ada beberapa opsi yaitu dengan menggunakan line MRT (bayar dengan suica card), dengan kereta JR (jika tidak punya JR pass bisa beli single trip tiket di mesin) atau dengan Limousine Bus yang berhenti di hotel-hotel tertentu di pusat Tokyo (beli tiket di loket yang ada di Bandara).

Kami memutuskan untuk naik MRT saja karena paling mudah untuk menuju Asakusa dimana kami akan tinggal, dari Bandara tersedia banyak line MRT yang melayani perjalanan antar Bandara ke Kota dengan jadwal yang berbeda-beda. Jadi jika anda ingin berkunjung ke Jepang saya sarankan untuk selalu menyewa Pocket Wifi, karena selama disini kami sangat mengandalkan google maps untuk menge-check rute dan jam keberangkatan kereta. Tentunya sebelumnya anda sudah harus menetukan tempat-tempat yang ingin dituju dan sebaiknya sudah menentukan rute yang searah untuk setiap tempat yang akan dikunjungi, karena jika bolak-balik selain boros waktu juga boros biaya transportasi.

Sebelum pergi sempat menanyakan beberapa teman yang sebelumnya sudah pernah backpack ke Jepang, “apakah di stasiun MRT ada eskalator atau lift?” beritanya agak simpang siur ada yang bilang “nggak ada semuanya tangga manual, jadi jangan bawa koper berat-berat” ada juga yang bilang “Ada koq tapi memang eskalator & lift lokasinya jauh dari tangga manual, kalau malas jalan ya nggak akan ketemu”. Setelah pergi langsung kesana dan berbincang-bincang dengan warga lokal sekarang saya sudah tau jawabannya dan ada beberapa informasi penting yang ingin saya share

  1. Sebagian besar stasiun MRT di Tokyo memang menyediakan eskalator dan lift, namun beberapa wilayah seperti Asakusa yang merupakan kota tua, stasiunnya tidak ada lift maupun eskalator. Jadi jika anda menginap di lokasi ini seperti kami, tolong perhitungkanlah barang bawaan Anda. Jika saya ditanya stasiun mana yang ada lift mana yang tidak ada, sungguh saya tidak tau karena satu wilayah di Tokyo ada banyak sekali stasiun MRT. Bahkan saat saya bertanya pada Kai (pemilik hostel) dia hanya menjawab stasiun yang menggunakan bangunan lama sudah pasti tidak ada eskalator & lift (tentu saja kami tidak tau mana yang bangunan lama mana yang baru).
  2. Hanya stasiun-stasiun besar seperti Ueno Station, Tokyo Station yang buka dari pukul 4 pagi. Ini penting untuk anda ketahui karena google maps tidak dapat mendeteksi jam buka stasiun dan menyebabkan kami deg-deg kan karena takut ketinggalan pesawat pulang yang take off jam 9 pagi di Narita.(detail-nya akan saya ceritakan nanti)
  3. Hampir sama dengan peraturan di negara lainnya jangan makan & minum di MRT, nah.. khusus di Tokyo ini sedikit strict sih… bahkan anda tidak diperbolehkan menelpon dan berbicara keras di MRT karena dianggap mengganggu. Setiap beberapa saat peringatan2 tersebut akan diumumkan oleh operator dengan menggunakan 4 bahasa yaitu Jepang, Inggris, Mandarin & Korea. Namun untuk MRT di wilayah lain seperti Fuji, Kamakura, Shimoyoshida sepertinya tidak ada larangan untuk berbicara.
  4. Peraturan untuk naik eskalator sama dengan Singapore/HK, sisi sebelah kiri untuk anda yang diam dan kanan untuk mereka yang sedang terburu-buru (perlu untuk berlari-lari). Ada yang mengatakan kalau di Osaka/Kansai posisinya terbalik, untuk kemudahan tinggal ikuti saja warga lokal disana.

Haru Hostel

Tidak terlalu sulit bagi kami dari Haneda menuju Stasiun Asakusa, kesulitan yang dihadapi adalah menemukan Hostel kami karena pintu masuknya kecil tersembunyi. Hostel Haru berada di gedung yang sama dengan Resto BBQ Totenki Genki Lt 1, Perkumpulan Sumo Lt 2, dan Hostel Haru ini ada di Lt.3 jadi satu gedung setiap lantai beda pemilik. Walaupun kami sudah diberikan foto depan gedung, tetap membingungkan karena papan namanya menggunakan tulisan kanji, dan gedungnya berderetan dengan gedung resto lainnya yang bentuknya bangunannya hampir mirip.

Kami sampai di hostel lebih cepat dari yang kami janjikan yaitu jam 12 siang, sebenarnya jam check in adalah jam 4 sore dan sepertinya bagian resepsionis sedang istirahat siang. Saya coba menghubungi pemilik lewat airbnb dan tanpa menunggu lama 15 menit kemudian datanglah Masa San, laki-laki pengurus Hostel yang datang dengan napas terengah-engah sepertinya habis lari-lari -_-; saya jadi merasa tidak enak karena menggangu jam istirahat siangnya.

Masa San tidak mengerti bahasa Inggris, jadi kami mengeluarkan seluruh ilmu bahasa jepang amatir yang pernah dipelajari dulu jaman kuliah sebisanya. Alangkah baiknya ternyata kami diperbolehkan check in lebih awal, tentunya sebelum pergi istirahat sejenak karena 8 jam perjalanan cukup menimbulkan jetlag.

Ueno, Akihabara & Roppongi Hills

Jembatan menuju Ueno Station

Setelah istirahat dan beberes sekitar setengah jam, kami keluar mencari makan siang. Karena kita berdua bukan tipe yang suka kuliner cukup beli onigiri & makanan siap saji di Family Mart saja, oh iya.. kalau anda mau makan atau minum sebaiknya jangan sambil berjalan makanlah dipinggir atau cari taman sambil duduk. Saya menyadari kalau Jepang sangat bersih tapi jarang ada tempat sampah, jadi kalau sedang jalan ada yang mau dibuang simpan dulu di kantong sampai ketemu tempat sampah ya… karena mereka tidak suka mengotori jalan dengan remah-remah makanan ataupun bekas bungkus makanan.

Tempat sampah disana pun sangat-sangat spesifik, lebih spesifik dari yang saya pernah lihat di Singapore ataupun Taiwan. Untuk tempat sampah wadah minuman pun dibagi menjadi kategori kaleng & paper cup. Sebagai catatan jika makan di resto fast food mohon dibudayakan self service ya, meja harus dibersihkan sendiri, sampah dibuang sesuai dengan kategori-nya. Piring, gelas, sendok & sumpit ada rak tersendiri untuk meletakannya, sebenarnya hal seperti ini sudah sempat mau dibudidayakan di Indonesia tapi sayangnya tidak semua masyarakat merespon dengan baik. Tapi saya pribadi sudah membiasakan merapihkan meja sendiri di resto fastfood dan food court umum. Karena di kampus tempat saya mengajar kebiasaan ini pun sudah diterapkan.

Lanjut ke perjalanan kami, sampai di Ueno station langsung berjalan ke arah Ueno Park, maksud hati ingin melihat sakura ternyata sama sekali belum muncul di tgl 24 April itu. Jadi tanpa buang waktu kami berputar kembali dan pergi menuju Akihabara.

Mungkin hampir semua orang bahkan yang belum pernah ke Jepang sudah tau kalau Akihabara adalah tempat untuk para pecinta Anime, Manga & Game (seperti kami ini). Jadi bagi yang mencari action figure dan merchadise anime apapun pasti bisa anda dapatkan disini. Selain itu juga terdapat Maid Cafe, Gundam Cafe dan AKB48 Cafe.

Hollywood Beauty Plaza, Roppongi Hills

Waktu sudah menunjukan hampir jam 3 sore, selanjutnya kami menuju Roppongi Hills karena memang sudah masuk bucketlist kami untuk membeli Limited Edition Japanese Reebok Les Mills :D. Perlu di ketahui Jepang banyak sekali mengeluarkan produk-produk seasonal dijual terbatas dan hanya ada di Jepang, salah satunya adalah brand Rebok Les Mills (yang tidak tahu les mills cari sendiri di internet), Hasil browsing saya reebok les mills dijual di Hollywood Beauty Plaza yang berlokasi di Roppongi Hills. Karena sudah sampai di Jepang tentu tidak mau melewatkan kesempatan dan untungnya barang yang kami incar masih ada, meskipun ukurannya sudah tidak terlalu komplit, karena produk ini sudah dijual sejak Januari 2019.

Roppongi Hills ini termasuk kawasan elite, jangan heran kalau akan anda temui banyak bos-bos besar dengan mobil sport dua pintu seperti Mercy, Porsche, Ferrari dll. Tapi kami tidak berlama-lama jalan disana setelah barang yang kami mau didapatkan langsung pulang menuju Hostel. Walaupun baru jam 5 sore tapi karena kurang tidur selama dipesawat jadi kepala terasa berputar-putar.

Dalam perjalanan pulang dari sana, kami sempat melihat sebuah taman kecil yang sudah ada beberapa pohon sakura bermekaran. Karena sejak awal kedatangan yang kami cari adalah sakura jadi walaupun sudah lelah, letih, lesu tetap menyempatkan diri untuk berfoto dulu.

Pulang ke hostel kami sudah disambut “okaerinasai” (selamat datang kembali) oleh Masa San, senangnya tinggal disini kami benar-benar merasa diperlakukan bagai keluarga. Sopan santun yang mereka terapkan sehari-hari juga diperlakukan terhadap turis asing yang menginap :). Hari itu kami sudah tidur pukul 8 malam dimana di Indonesia masih jam 6 sore (perbedaan waktu 2 jam). Nyamannya tempat tidur dan settingan pemanas yang sangat pas di suhu 11ºC malam itu membuat kami tidur sangat pulas tanpa gangguan.

Senin 25 Maret 2019

Pagi itu kami sudah bangun sekitar jam 4-5 pagi, karena malamnya sudah tidur awal jadi sudah segar bugar dihari kedua ini. Jam 6 pagi kami jalan menuju Hie Shrine, ternyata suasana MRT di jam 6 pagi belum terlalu berdesakan.

Hie Shrine, Tokyo

Mengapa dari sekian banyak kuil kami memilih Hie Shrine (kuil Hie) karena disini terdapat deretan Tori yang sekilas mirip dengan kuil Fushimi Inari di Kyoto. Jika anda tidak memperhatikan dengan seksama pasti akan mengira kuil ini adalah Fushimi Inari di Kyoto, padahal lokasinya masih di Tokyo berada diantara gedung-gedung tinggi perkantoran. Kuil ini bukan kuil yang pada umumnya dikunjungi turis seperti Sensoji Temple di Asakusa, jadi sepi jika tidak ada perayaan apapun apalagi di pagi hari. Jika ditanya darimana saya tahu tempat ini, tentunya dengan banyak melakukan survey lewat vloger2 traveller yang sudah lebih berpengalaman di youtube. Kalau mau jujur saya suka sekali melihat vloger bule karena mereka lebih banyak mengexplore lokasi-lokasi unik dan menarik yang jarang dikunjungi turis.

Diver City Tokyo Plaza

Gundam at Diver City Tokyo Plaza

Karena kuil Hie kecil tidak perlu waktu lama untuk mengelilinginya, jam 8.30 pagi kami langsung menuju Odaiba untuk melihat real size Unicorn Gundam. Kami sampai di Diver City sekitar jam 9 pagi, yang saya takjub disana ada area bermain semacam timezone tapi jam 9 pagi sudah ramai dengan anak-anak sekolah yang memang sedang libur semester. Ternyata bukan hanya yang bekerja tapi yang bermain pun ternyata rajin sekali ya.. pagi-pagi..

Setelah keliling berkali-kali kami tetap tidak bisa menemukan lokasi Gundam-nya, bukan karena mall-nya besar tapi setelah bertanya pada satpam ternyata lokasinya ada diatas, jadi harus naik eskalator outdoor tepat disebelah kiri Gedung Diver City. Karena masih pagi sampai disana masih agak sepi, jadi kami bisa puas berfoto-foto. Sayangnya Gundam ini baru akan bertransformasi di jam 11, 13 dan 15 saja. Jadi setelah foto-foto kami memutuskan untuk jalan ke Liberty Statue dulu yang lokasinya ditepi laut tidak terlalu jauh hanya perlu menyebrang saja dari Diver City kemudian lanjut pergi ke Oedo Onsen yang lokasinya tidak jauh dari sana, hanya perlu 20 menit berjalan kaki. Nanti kami akan kembali lagi sebelum jam 15 sore untuk melihat transformasi Gundam.

Oedo Onsen Monogatari

Saya rasa tidak banyak turis yang tau bahwa di Tokyo ada Onsen, saya mengetahui tentang onsen ini dari Australian vloger “KimDao”. Kebanyakan orang akan pergi ke Hakone (bagian selatan Fuji) untuk menikmati Onsen, yah.. karena kami tidak ada rencana kesana jadi mencari yang lokasi yang masih ada di dalam kota saja. Biaya masuk ke Oedo Onsen ini 2720 JPY (weekdays), sudah termasuk dipinjamkan Yukata dan locker untuk meletakan sepatu dan tas. Yang perlu diperhatikan:

  1. Saat masuk lepaskan sepatu anda, disebelah kiri sudah ada locker khusus sepatu. Letakan disana jangan lupa simpan kunci-nya.
  2. Antri untuk membeli ticket, setelah mendapatkan ticket anda akan diberikan gelang dengan barcode yang akan digunakan untuk purchase makanan atau service selama berada di area onsen. Tagihan-nya nanti harus dibayar saat pulang setelah mengembalikan Yukata.
  3. Setelah dapat ticket antri lah untuk mengambil Yukata, ada 4 motif Yukata yang bisa anda pilih
  4. Masuk ke locker room untuk bertukar pakaian, jadi selama di area Onsen memang anda diharuskan mengenakan Yukata.

Ada beberapa ruangan Onsen yang tersedia disana, Foot Bath, Massage, Private bath dll. Dari sekian banyak pilihan yang gratis adalah Foot Bath yang lokasinya outdoor. Jadi kami hanya pergi ke area ini saja :P, pemandangannya cukup bagus dan karena area-nya outdoor dan suhunya masih agak dingin mereka menyediakan Haten (Coat) yang bebas dipakai tanpa dipungut biaya.

Lalu apa lagi yang dapat anda lakukan disini, di area Indoor selain foodhall ada banyak permainan berhadiah yang bisa anda lakukan. Permainan yang tersedia mirip seperti yang ada pada festival musim panas di Jepang seperti menangkap ikan dengan jaring kertas, menembak, mengambil balon air dan lainnya. Tentunya jika ingin bermain akan dikenakan biaya lagi, membayarnya cukup dengan meng-scan barcode di gelang anda. Yang saya suka dari oedo onsen ini adalah interiornya dibuat seperti layaknya Jepang tempo dulu, kios-kios nya terlihat sangat tradisional menjadi tempat yang bagus untuk foto-foto.

Setelah puas di Onsen berendam dan makan siang dari jam 11.00-14.00 kami kembali ke Diver City untuk melihat transformasi Gundam, untuk lebih detainya bisa lihat di video yang akan saya upload dibawah nanti. Oh iya jangan lupa menyempatkan diri untuk berbelanja beberapa produk Uniqlo & GU he..he.. karena produk Uniqlo disini harganya bisa lebih murah 150rb-an dari di Indonesia.

TeamLab Borderless

Gedung Mori Building yang berada di sebelah Ferrish Wheel

Waktu menunjukan pukul 15.15, tempat selanjutnya yang kami tuju adalah museum digital TeamLab Borderless yang berlokasi di Mori Building posisinya tepat berada disebelah Ferish Wheel Odaiba. Museum ini juga salah satu yang menjadi incaran saya karena merupakan museum digital pertama di dunia dan baru saja dibuka July 2018 tahun lalu. Tidak heran jika tempat ini sangat diminati turis asing maupun turis lokal, bahkan saya pernah melihat video di IG Hugh Jackman & Steve Aoki pernah berkunjung ke museum ini.

Setelah membeli tiket kami harus mengantri 1 jam lebih untuk masuk kedalam, karena mereka membatasi jumlah pengunjung yang berada di dalam agar tidak berdesakan. Sebelum masuk anda akan diberikan penjelasan tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, seperti makan dan minum jangan dilakukan di area pameran sudah disediakan ruangan khusus, kemudian disarankan tidak memakai heals karena ada area yang lantainya tidak rata, jangan memotret menggunakan flash dan beberapa peraturan bagi yang membawa anak-anak.

Jika anda seseorang yang bekerja dibidang desain dan multimedia pasti akan menyukai tempat ini, sepanjang museum selain menikmati keindahan seni dalam dunia digital, otak saya pun terus berpikir software apa yang mereka gunakan, berapa resolusi layar yang digunakan sampai bisa memenuhi seluruh ruangan dari lantai sampai langit-langit, bagaimana cara membuatnya interaktif dll, sulit dijelaskan dengan kata-kata silahkan lihat langsung di video saya nanti, karena foto tidak bergerak jadi kurang begitu menarik untuk ditampilkan. Satu hal lagi yang saya perhatikan apa yang dipamerkan pada museum ini diganti secara berkala, jadi bagi anda yang sudah pernah berkunjung tahun lalu belum tentu melihat seni digital yang sama dengan yang ditampilkan tahun ini.

Semua tempat yang kami kunjungi di hari ini berada di lokasi yang sama kecuali Hie Shrine, jadi semuanya bisa ditempuh dengan berjalan. Jika tidak kuat berjalan setahu saya ada free bus yang disediakan untuk mengelilingi area wisata Odaiba. Namun bagi kami yang masih merasa muda berjalan sambil sightseeing lebih menyenangkan dibanding naik kendaraan :D, jam 8 malam setelah pulang ke hostel kami iseng mengecheck “pacer” (applikasi mobile untuk menghitung langkah per hari) sangat mengejutkan ternyata hari ini kami telah berjalan 28.000 step dengan jarak tempuh total 19 km dan kalori yang sudah dikeluarkan diangka 800, lebih besar dari jumlah kalori yang dikeluarkan jika anda mengikuti kelas Body Combat 60 menit.

Selasa 26 Maret 2019

Rencana kami hari ini yaitu menyewa kimono dan berjalan-jalan disekitar Asakusa. Setelah mempertimbangkan lokasi, harga & jenis paket yang tersedia kemudian yang terpenting masih available di tanggal yang kami mau. Tempat yang kami pilih untuk menyewa kimono adalah Aiwafuku yang berlokasi di dekat sumida river, hanya sekitar 12 menit berjalan dari lokasi kami menginap dan 10 menit dari Sensoji Temple. Sebenarnya ada banyak sekali tempat penyewaan kimono di wilayah Asakusa dan yang cukup terkenal adalah “Yae Kimono” dan “Kimono Wargo” tapi dua tempat ini sudah fullbook di tanggal yang kami mau, jadi kami beralih ke Aiwafuku dan apa yang kami dapatkan disini melebihi ekspektasi.

Aiwafuku Kimono Rental

Aiwafuku toko ke 2

Aiwafuku di Asakusa ini memiliki 3 toko yang lokasinya bedekatan, kami memilih toko ke-2 yang khusus hanya menyediakan kimono wanita. Awalnya melihat harga sewa di Aiwafuku lebih murah dari Yae dan Wargo kami sempat ragu dan bertanya-tanya apakah koleksi kimono-nya cukup bagus? atau jangan-jangan sudah kuno dan lusuh? namun apa boleh buat karena 2 tempat yang kami incar sudah fullbook toko ini sudah menjadi pilihan kami.

Ada beberapa pilihan paket kimono dari yang murah sampai yang mahal, dan yang kami pilih adalah paket Eba Furisode seharga 9800 JPY sudah include jasa hairstylist, accessories, tas dan sendal. Make up tidak termasuk ya, jadi saya sarankan anda make up sendiri sebelum datang. Apa sih perbedaannya dari jenis paket yang murah sampai yang paling mahal. Paket yang lebih murah menyediakan kimono casual yang bagian lengannya pendek dan simpul “Obi” (sabuk)nya lebih sederhana, sedangkan untuk harga yang lebih mahal disebut Furisode (swinging) karena bagian lengan kimononya panjang dan simpul Obi-nya lebih sophisticated, secara material juga bahannya lebih bagus.

Saat ini di Indonesia sudah banyak tempat wisata yang menyediakan jasa penyewaan kimono seperti Floating Market Lembang, Jatim Park Malang dll. Karena sudah jauh-jauh ke Jepang kami tidak mau memilih kimono casual yang tidak ada bedanya dengan yang disewakan di Indonesia. Jadi walaupun sedikit mahal untuk pengalaman sesekali tidak ada salahnya mencoba.

Sumida Park & River

Setelah 1 jam pemakaian kimono dan menata rambut saat-nya berjalan-jalan. Karena lokasi Aiwafuku sendiri sudah diarea yang banyak dikunjungi wisatawan tentunya selagi masih pagi dan belum terlalu ramai, kami menyempatkan diri untuk berfoto-foto dulu. Dari Sumida River ini kita bisa melihat Tokyo Skytree dan gedung Bir Iconic yang berada di  sebrang. Pagi tadi sebenarnya kami datang terlalu pagi jam 8 dan Aiwafuku baru buka pukul 9.30 sambil menunggu kami sudah foto-foto dulu disini.

Sensoji Temple

Dari sumida river kami berjalan kaki menuju Sensoji Temple. Sensoji adalah kuil Buddha terbesar dan tersohor di Tokyo, dan setiap hari-nya sangat ramai dengan turis. Area yang paling iconic dari kuil ini adalah Kaminarimon yaitu gerbang kuil yang dihiasi dengan Lentara raksasa pada bagian tengahnya dan terdapat rupang dewa penjaga disebelah kiri dan kanan gerbang. Saya tidak akan menjelaskan lagi tentang sejarah kuil ini karena informasinya sudah sangat banyak di internet. Sebenarnya hostel kami sangat dekat dengan lokasi kuil ini 10 menit saja jalan kaki, tapi sengaja kami mengunjungi-nya saat mengenakan kimono, supaya merasakan pengalaman yang berbeda.

Secara keseluruhan pengalaman kami selama memakai kimono ini menyenangkan sudah seperti artist karena sering diminta foto bersama oleh turis-turis asing dan banyak paparazi (turis) yang memotret kami secara candied. Mungkin karena mereka tidak bisa membedakan wajah oriental kami dengan penduduk lokal sehingga mereka kira kami orang jepang asli. Pukul 2 siang kami makan dulu di kedai Udon pinggir jalan sebelum mengembalikan kimono ke Aiwafuku.

Tokyo One Piece Tower

Foto dulu didepan sebelum masuk

Setelah mengembalikan kimono yang sebenarnya sangat tidak rela kami lepas, kami berangkat ke Tokyo Tower. Tujuan kami kesini adalah mengunjungi One Piece Theme Park di Lt.3. Siapa sih yang tidak kenal One Piece, walaupun anda bukan pengemar anime saya yakin pasti anda pernah sesekali melihat tokoh character utamanya Monkey D Luffy di berbagai merchandise. Ciri khas-nya adalah ia selalu tersenyum lebar yang memamerkan giginya dengan baju merah dan topi jerami (mugiwara). Saya adalah pengemar One Piece sejak tahun 2001 dan sampai saat ini manga dan anime-nya masih terus saya ikuti, setiap bepergian ke negara manapun begitu menemukan segala jenis merchandise One Piece pasti kantong langsung kering -_-; entah magnet apa yang menarik kami kesana.

Harga masuk tiket untuk theme park-nya yaitu 2000 JPY. Mereka juga menyediakan tiket paket sekaligus untuk nonton live action dan naik ke observatorium desk Tokyo Tower, tentunya harganya lebih mahal untuk lebih detail bisa kunjungi websitenya disini.  Di One Piece Theme Park ini menampilkan banyak life size figure tokoh-tokoh utama One Piece, dan mereka cukup update dengan tokoh-tokoh di serial terbaru. Selain itu ada juga diorama yang mengambil beberapa cerita dari salah satu adegan-adegan yang ada di cerita One Piece. Selain itu tentunya ada toko yang menjual produk-produk One piece mulai dari merchandise notebook, keychain, tas, kaos, acrylic, action figure, boneka sampai makanan.

Selanjutnya naik ke Lt-4 adalah area bermain, setiap area bermain menggunakan nama-nama dari karakter utama one piece seperti Namy Casino, Horor House Brook, dan lainnya seperti yang anda lihat di foto-foto ini.

Naik lagi ke lantai 5 adalam museum, disini dipamerkan sketsa-sketsa asli Eichiro Oda, dan wallpaper seluruh tokoh one piece.

Karena kami tidak berencana menonton live action ataupun naik ke obsevatorium deck Tokyo Tower. Setelah puas bermain dan waktu menunjukan jam 6.30 malam kami langsung menuju Pokemon Cafe di Nihombashi.

Pokemon Center

Pokemon Center, Tokyo

Kami agak kesulitan menemukan Pokemon Cafe ini karena lokasinya berada di antara gedung-gedung perkantoran sinyal wi-fi kami sempat terputus jadi mondar-mandir nggak jelas. Akhirnya kami bertanya pada salah satu security wanita di gedung perkantoran, dan luar biasa baiknya security itu benar-benar mengantar kami sampai didepan gedung dimana pokemon cafe berada (untungnya tidak terlalu jauh). Dan dia mengatakan cafe-nya berada di lantai 5, terima kasih bu security maaf sudah merepotkan 😀

Di itenerary yang saya buat kunjungan ke Pokemon Cafe ini adalah optional, jadi survey yang saya lakukan kurang detail. Ternyata untuk makan di pokemon cafe ini kami harus booking dulu melalui website karena memang selalu ramai dan waiting list, dan sebagian besar yang makan disini adalah turis asing karena memang ini adalah satu-satunya pokemon cafe yang permanen (bukan cafe yang dibuka saat event tertentu). Mengapa saya tertarik datang kesini, karena dari apa yang saya lihat di youtube interior cafe-nya super cutee…. dari meja, kursi, piring gelas sampai makanannya dibuat berbentuk pokemon, dan di jam-jam tertentu ada Pikachu yang akan berkeliling di resto selama beberapa menit.

Karena tidak bisa masuk cafe, akhirnya kami hanya berbelanja saja di Pokemon center yang tepat berada disebelah cafe. Dan hari itulah dimana kami gagal menjaga isi kantong, setelah habis-habisan beberlanja merchandise One Piece, kantong kami bocor lagi disini. Kami menghabiskan waktu sampai jam 9 malam disini dan langsung pulang setelahnya menuju hostel.

Rabu 27 Maret 2019

Hari ini kami bangun pagi karena berencana keluar Tokyo dan naik kereta ke Kamakura, perjalanan memakan waktu sekitar 2,5 jam dengan kereta dari Tokyo. Sebenarnya dari Tokyo ke Kamakura akan melewati Yokohama, awalnya sempat merencanakan untuk mengunjungi Yokohama terlebih dahulu karena saya tertarik untuk ke Minato Mirai, Nissin Museum & Ramen Museum, tapi setelah ngobrol dengan Kai (Host Haru Hostel) ia lebih menyarankan kami menelusuri Kamakura terlebih dahulu karena tempat wisata di Yokohama tidak terlalu berbeda dengan Tokyo, sedangkan Kamakura banyak kuil-kuil besar yang unik dan menarik dikunjungi.

Dalam perjalanan ke Kamakura terjadi insiden saya dan cici sempat terpisah di stasiun Nihombashi, terpisah karena saya sudah masuk kereta lebih dulu dan cici saya ternyata masih diluar. Karena bertepatan dengan jam masuk kantor kondisi kereta & stasiun hectic jadi kadang kami terbawa arus manusia yang berlalu-lalang, dan permasalahannya pocket wifi saya yang memegang, jadi koneksi internet cici-ku putus. Untungnya dia sempat minta tolong salah satu warga lokal untuk tethering internet. Setelah chat akhirnya kami berencana bertemu di stasiun berikutnya, karena kejadian terpisah ini kami menghabiskan terlalu banyak waktu saling mencari, akhirnya perjalanan ke kamakura yang seharusnya 2,5jam bertambah menjadi 3,5jam.

Houkokuji Temple, Kamakura

Tiket masuk ke Hutan Bambu Houkokuji temple

Kami sampai di stasiun Kamakura Pukul 11.30 siang, Kamakura benar-benar berbeda dari Tokyo, kota ini lebih tradisional terlihat dari bangunan-nya dan tatanan kota-nya. Di Kamakura kami tidak melihat gedung-gedung tinggi pencakar langit, tapi setiap jarak 1-3 km dari stasiun yang mana bisa ditempuh dengan berjalan pasti kita akan menemukan kuil dari kuil kecil hingga kuil yang sangat besar, dan memang bagi kalian yang pergi ke Jepang di area Kanto dan tidak sempat mengunjungi Kyoto-Kansai saya sarankan untuk ke Kamakura. Karena banyak yang mengatakan suasana di Kamakura mirip dengan Kyoto.

Disini tidak ada subway / MRT ya, jadi kalau mau kita bisa naik kereta / bus lokal yang akan berhenti disetiap stasiun yang sebagian besar adalah tempat wisata. Jangan khawatir kartu suica bisa digunakan disini. Tapi saya lebih menyarankan anda berjalan saja karena Bus lebih banyak dinaiki oleh orang tua dan disable.

Kuil pertama yang kami kunjungi yaitu Houkokuji Temple, yang menarik dari kuil ini adalah didalam-nya kita bisa menikmati teh sambil menikmati pemandangan hutan bambu, tentunya hutan bambu ini tidak seluas di Arashimaya Kyoto. Tiket masuk ke Hutan bambu hanya 200 JPY saja namun tidak termasuk dengan upacara minum teh ya, untuk minum teh ada biaya tambahan lagi sebesar 500 JPY. Pemandangan-nya seperti apa silahkan dilihat foto-foto dibawah ini 🙂

Taman Zen di area kuil

Tsurugaoka Hachimangu Shrine, Kamakura

Setelah sekitar 1,5 jam di Houkokuji kami menulusuri jalan kembali menuju Tsurugaoka Hachimangu Temple yang posisinya tidak terlalu jauh dari stasiun. Jadi sebenarnya saat jalan ke Houkokuji kami sudah melewati kuil ini hanya saja sengaja lanjut terus karena menurut kami menelusuri yang lebih jauh dulu akan lebih nyaman.

Menyadari kami belum makan siang, sekalian jalan kami mampir ke salah satu cafe di pinggir jalan karena nggak nemu kedai lain jadi terpaksa deh untuk mengisi perut penambah tenaga. Oh iya kalau makan di semua kantin di Jepang jangan makan-makanan dari luar ya, karena kelaparan kami sempat makan snack yang beli diluar tapi ternyata ditegur dengan sopan.

Bread Toast & Ginger Ale

Hachimangu ini adalah kuil terbesar di Kamakura, dan memang dibandingkan kuil-kuil lain yang kami kunjungi kuil ini sangat luasss sekilas mirip dengan Kiyomizu Dera di Kyoto (walaupun saya belum pernah ke Kyoto) tapi sering melihat di foto-fotonya :P. Memasuki area kuil adalah taman yang luas dimana terdapat beberapa bangunan kuil kecil, tumpukan sake barrel yang instagamable banget & jembatan dengan pemandangan sungai yang wuah…..

Setelah menaiki tangga kita baru akan menuju ke kuil utama, sayang sekali beberapa area di kuil utama tidak di ijinkan untuk merekam atau mengambil foto, didalam kuil utama kita dapat berdoa dengan melemparkan koin nilai berapapun kedalam kotak kayu besar berlubang didepan altar kemudian jika mau kita bisa mengantri untuk mengambil Omikuji (di kuil-kuil china di Indonesia biasa disebut Ciam Si), untuk Omikuji ini diwajibkan menyumbang 100 JPY lucunya saat saya memberikan koin lebih dari 100 JPY dikembalikan, walaupun saya sebenarnya memang mau menyumbangkan lebih he..he.., oh iya Omikuji ini ada versi bahasa Inggrisnya loh lalu jika kalian mendapat ramalan yang jelek maka harus di ikat pada tali yang sudah disiapkan di sekitar kuil, dalam kepercayaannya untuk membuang sial. Jika ramalan kalian bagus, boleh disimpan, beruntungnya ramalan saya bagus jadi masih saya simpan sampai sekarang 🙂

Kotoku-In Temple Great Buddha, Kamakura

Great Buddha of Kamakura, Kotoku-in Temple

Sekitar pukul 14.20 dari  Hachimangu masih ada satu kuil lagi yang ingin kami kunjungi yaitu Kotoku-in dimana terdapat rupang Buddha raksasa yang terbuat dari perunggu dan merupakan salah satu icon Jepang. Kami berjalan dengan petunjuk dari google maps, dan jujur saja petunjuknya agak menyesatkan karena kami dibuat berputar-putar melewati pemukiman warga dan akhirnya baru sampai sekitar pukul 15.15 sore.

Masuk ke Kotoku-in hanya perlu membayar 200JPY dan jika ingin masuk kedalam rupang Buddha dikenakan tambahan biaya 20JPY, kemudian anda diharuskan untuk mencuci tangan terlebih dahulu ditempat yang telah disediakan, sebagai simbolisasi agar kita membersihkan diri dari sifat dan pikiran-pikiran duniawi dari luar, mungkin mirip dengan wudhu yang dilakukan oleh muslim. Setiap berkunjung ke negara manapun sudah menjadi kebiasaan bagi saya untuk mengunjungi kuil Buddha yang ada di negara tersebut, bagi saya berkunjung ke kuil rasanya seperti kembali ke kampung halaman namun yang menyenangkan karena beda negara maka tradisi-nya pun berbeda-beda.

Kotoku-in tidak  terlalu besar jadi tidak membutuhkan waktu lama untuk berkeliling disini, pukul 15.45 sore kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan balik ke Tokyo namun akan singgah terlebih dahulu di Yokohama. Untuk mempercepat kami naik bus sampai stasiun Kamakura lalu lanjut dengan Kereta sampai Stasiun Yokohama.

Minato Mirai, Yokohama

Tiba di Yokohama sekitar pukul 16.30 disini kami tidak menghabiskan banyak waktu hanya singgah sebentar saja di area Minato Mirai yang mana langsung terhubung dengan stasiun. Yokohama terkenal sebagai kota pelabuhan dan area Minato mirai adalah yang paling populer dengan object wisata museum kapal, theme park dan gedung-gedung iconic-nya ditepi laut. Dari apa yang saya tahu di Nippon Maru memorial park yokohama sering dijadikan tempat untuk mengadakan event-event dan festival di Jepang. Dari namanya Minato Mirai memiliki arti harbour of the future, memang desain gedung dan sculpture-nya pun sangat futuristik dan benar apa yang dikatakan Kai San kalau Yokohama suasananya tidak terlalu berbeda dengan Tokyo., karena saya merasa tempat ini agak-agak mirip dengan odaiba.

Waktu sudah menunjukan pukul 17.30 langit masih terang, tapi perut sudah lapar. Saya mendadak dapat ide untuk segera balik ke Tokyo dan mampir ke Shibuya Station untuk berfoto dengan Hachiko selagi langit masih terang.

Hachiko Statue, Shibuya

hachiko statue, shibuya

Rencana dadakan ini terpikirkan mengingat waktu kami di Jepang tinggal 2 hari lagi dan esok kami berencana ke luar Tokyo yaitu Mount Fuji, jadi belum tentu akan ada kesempatan untuk explore district Tokyo lainnya besok. Jadi dengan terburu-buru dan berlari-lari mengejar waktu sebelum matahari terbenam menyempatkan diri ke Shibuya Square untuk berfoto dengan Hachiko, dan ternyata…. ramaiiiiiii sekali…bahkan kami harus mengantri untuk berfoto. Tidak menyangka ternyata patung Hachiko ini begitu terkenal-nya, mungkin sejak Hollywood membuat film yang dibintangi oleh Richard Gere.

Walaupun dengan tampang lelah dan kusut habis berlari-lari, tapi sempat juga berfoto di lambang kesetiaan ini.. mission accomplished. Karena sudah sampai Shibuya setelah makan di Moss Burger kami menyempatkan diri masuk ke dalam Shibuya 109 yang ternyata toko-toko disini menjual kosmetik & fashion yang terlalu ABG bagi kita berdua, jadi isi kantong kami selamat. Pulang-nya kami melewati beberapa toko kosmetik dan sempat membeli beberapa oleh2 masker wajah yang lumayan murah he..he..kemudian mengarah ke Shibuya Cross, persimpangan 4 yang terkenal sangat crowded di Jepang, dan memang benar-benar crowded di malam hari penuh dengan orang pulang kerja yang menyebrang sambil berlari-lari. Sampai saya sempat takjub kalau ada orang yang bisa menyempatkan diri berfoto ditengah-tengah persimpangan ini. Sesampainya di Hostel kami mandi, istirahat dan tidur lebih awal karena besok pagi kami harus berangkat ke Fuji.

Kamis 28 Maret 2019

Hari ini kami bangun pukul 6 pagi dan berangkat pukul 7, perjalanan dengan kereta ke Fuji cukup memakan waktu ditambah lagi kami sempat salah naik MRT -_-; dari Tokyo waktu mau menuju Otsuki Station. Karena berusaha me-maximalkan penggunaan JR Tokyo wide pass kami mencari MRT yang dijalankan oleh JR untuk menghemat deposit kartu suica. Kurang lebih 3 jam perjalanan, yang perlu dicatat ternyata perjalanan keluar kota dari Tokyo akan mengalami banyak perpindahan kereta di stasiun yang sama. Karena tidak mengerti dan tidak memperhatikan pengumuman kami sempat tidak sadar kalau salah satu kereta yang kami naiki sempat berhenti lama, dan ternyata dia berbalik arah jadi kami terbawa kembali ke stasiun sebelumnya. Seharusnya kami turun disaat kereta berhenti lama dan pindah ke gerbong kereta sebelah untuk melanjutkan perjalanan dan ini menjadi pelajaran yang patut di ingat.

Arakurayama Sengen Park

Sampai Otsuki station kami pindah ke jalur Fujikyu Line menuju Shimoyoshida Station karena tujuan awal kami adalah Arakurayama Sengen Park yaitu sebuah taman dimana terdapat kuil dan pagoda diatas bukit yang merupakan salah satu dari sekian banyak lokasi yang direkomendasikan untuk memotret pemandangan gunung Fuji dari atas. Sampai di shimoyoshida station sudah pukul 11 siang dan kami menganjal perut dengan membeli french fries yang dijual di truck food dibelakang stasiun dimana penjualnya seorang cowok muda yang kawaiiii…persis seperti karakter yang berada di shojo manga :).

Karena Shimoyoshida adalah stasiun kecil tidak banyak yang bisa telusuri lebih banyak disini, setelah makan & membeli minuman hangat di vending machine kami jalan menelusuri sebuah desa menuju ke Arakurayama Sengen Park dengan mengikuti petunjuk yang ada di google maps tentunya. Dengan berjalan kaki kurang lebih hanya memakan waktu 15 menit untuk sampai didepan gerbang bagian terbawah dari tangga menuju taman, dan untuk menaiki 400 step anak tangga sampai ke puncak dimana terdapat Chureito Pagoda kurang lebih perlu 15 menit lagi jadi total 30 menit waktu yang diperlukan untuk menuju spot foto ter-favorit para photographer ini. Tenang saja kelelahan anda akan terbayarkan setelah melihat pemandangan gunung Fuji yang disuguhkan dari puncak bukit disini. Tapi karena tempat ini sangat ramai maka untuk mengambil foto dari spot terbaik harus bersabar dan cobalah belajar bersabar mengantri, karena sebagian besar tourist akan mengambil foto berulang-ulang sampai mendapatkan hasil yang terbaik dari spot yang sama. Untungnya mereka cukup tahu diri jika sudah terlalu lama dan bergantian dengan toursit lainnya.

Setelah mengantri berulang ulang dan mendapatkan foto dengan pemandangan yang cukup memuaskan pukul 2 siang kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke danau kawaguchi, yaitu kembali ke Shimoyoshida Station dan naik kereta dengan jalur yang sama dengan kereta yang kami naiki sebelumnya. Ternyata yang namanya di desa kereta yang beroperasi tidak banyak jadi kami masih harus menunggu kira-kira setengah jam lagi untuk berangkat ke Kawaguchi.

Kawaguchi Lake

sora no shita store, kawaguchi
Penampakan dari depan toko “Sora No Shita”

Kami sampai di stasiun kawaguchi pukul 15.30 sore, rencana kami adalah menyewa sepeda untuk pergi ke danau kawaguci. Tidak jauh dari stasiun ada sebuah toko outdoor gear bernama “Sora No Shita” yang juga merupakan tempat penyewaan sepeda, kami menyewa sepeda seharga 500 JPY/orang untuk 1 jam karena pengembalian paling lambat adalah jam 5 sore maka kami tidak punya banyak waktu untuk berkeliling wilayah kawaguchi jadi 1 jam saja rasanya sudah cukup. Untuk informasi lebih lengkap mengenai penyewaan sepeda bisa mengunjungi website toko ini di http://www.soranoshita.net/kawaguchiko/about/

Jika melihat di google maps arah menuju ke Danau kawaguchi seharusnya sangat dekat, tapi mungkin karena berada di wilayah pegunungan wifi kami sepertinya tidak mendapatkan sinyal yang bagus, posisi kami berada menunjukan lokasi yang berpindah pindah, akhirnya kami diarahkan rute yang berputar-putar dan berakhir di sebuah taman bernama Yagizaki Park. Di taman ini tidak diperbolehkan naik sepeda, jadi terpaksa kami menyusuri taman dengan berjalan kaki sampai menuju danau kawaguci. Namun kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi, kami berharap bisa mengambil foto danau kawaguchi dengan background gunung fuji tapi ternyata kami berada di sisi danau yang salah, jadi penjelasannya seperti dibawah ini.

kawaguchi lake
pemandangan Kawaguchi Lake mengarah ke gunung lain, seharusnya kami berada disisi sebrang untuk mengambil pemandangan kawaguchi dengan background gunung Fuji.

Waktu yang kami habiskan di sekitar kawaguchi tidak terlalu lama, karena sudah hampir gelap dan waktu menunjukan pukul 16.15 sore kami segera kembali menuju stasiun untuk mengembalikan sepeda dan membeli oleh-oleh untuk our brother :D. Sebenarnya masih mau mengexplore lebih area Fuji ini tapi sayangnya kami tidak merencanakan untuk menginap dan segera kembali ke Tokyo.

Dari sekian banyak tempat wisata yang kami kunjungi selama 4 hari ini, Fuji adalah wilayah dimana kami paling banyak bertemu sesama dari Indonesia, lucunya mereka tidak mengenali kami sebagai teman sebangsa kadang mengajak berbicara dalam bahasa Inggris malah saat di kedai stasiun ada yang membicarakan kami didepan muka dengan bahasa Indonesia ha..ha.. karena berpikir kami nggak ngerti, untungnya mereka bukan membicarakan hal yang negatif 😛

Line Friend Store, Harajuku

in front of Line Store Harajuku
Big Stuffed Browny at Lvl 1

Sebenarnya perjalanan di Fuji ini cukup melelahkan, tetapi sesampainya di Tokyo walaupun sudah hampir pukul 8 malam  rasanya kaki belum mau melangkah pulang. Akhirnya setelah di ingat-ingat kembali ada satu tempat yang mau kami kunjungi yaitu Line Friend Store yang berlokasi di Harajuku. Bagi yang tidak menggunakan applikasi chat line mungkin tidak pernah tau kalau Line punya tempat wisata tersendiri di Bangkok bernama Line Village, karena mau kesana belum kesampaian maka berkunjung ke Line Store di Harajuku ini pun sama sekali tidak mengecewakan, didepan toko kita sudah disambut dengan boneka Browny raksasa yang tentunya paling favorit menjadi teman berfoto-foto. masuk ke dalam ada 3 lantai yang menyediakan berbagi merchandise dan accessories Line lengkap dengan mascot-mascot-nya. Di Lt-3 adalah khusus untuk Character BT-21, so buat penggemar BTS dijamin akan menghabiskan banyak uang disini :D. Di lantai ini juga terdapat display action figure seluruh personil BTS lengkap dengan tanda tangan dan masing-masing sketsa karakter BT21 ciptaan mereka. Setelah membeli beberapa merchandise kami segera pulang dan beristirahat.

29 Maret 2019

Hari terakhir ini adalah salah satu yang berubah dari rencana awal kami, jika awalnya kami berencana untuk pergi ke Narita  San Omotesando kami urungkan kembali niat itu karena setelah melakukan survey area tempat kami menginap di Asakusa yang merupakan sebuah kota tua kurang lebih pemandangannya mirip dengan wilayah Narita San Omotesando dimana masih banyak terdapat bangunan-bangunan tradisional yang cukup tua. Bingung menentukan itinerary di hari terakhir ini, saya teringat di malam ke-2 kami di Haru Hostel sempat mengobrol dengan seorang pria dari Malaysia bernama Kuo Hway dia sempat merekomendasikan kami mengunjungi Giant Ghibli Clock yang katanya jalannya searah ke Imperial Palace, kami juga teringat akan Tokyo Station yang belum sempat kami kunjungi padahal bangunannya cukup iconic. Karena itu setelah menyusun rute terbaik tanpa berpikir panjang kami langsung menuju Tokyo Station.

Tokyo Station & Giant Ghibli Clock

Tokyo Station Europe style building

Waktu awal tiba di Tokyo Station ini kami bingung karena bentuk arsitektur bangunannya sangat berbeda dengan yang kami lihat di internet saat melakukan survey, bentuknya modern dan seperti office building padahal seharusnya bangunannya bergaya eropa. Kami coba menelusuri stasiun yang besar ini tetap tidak menemukan sesuai dengan yang kami harapkan sampai akhirnya memutuskan untuk bertanya pada seorang Janitor yang sudah cukup berumur, karena khawatir tidak bisa bahasa inggris kami menggunakan bahasa jepang これびるわどちらですか sambil menunjukan foto Bangunan Tokyo Station dari internet. Ternyata memang kakek ini tidak bisa bahasa Inggris, beruntungnya kami pernah belajar bahasa Jepang di club kampus dulu dan akhirnya bisa sampai di gedung Stasiun yang kami mau sesuai petunjuk dari kakek janitor. Ternyata eh Ternyata Tokyo station memiliki 2 sisi dimana tampak depan memang desain arsitekturnya jauh berbeda antara sisi yang satu dengan sisi yang lainnya.

Puding Sakura menu khusus musim semi Starbucks Jepang
Giant Ghibli Clock

Setelah menghabiskan waktu berfoto-foto selanjutnya kami berjalan menuju Gedung Nippon Tv dimana terdapat Giant Ghibli Clock, karena tidak sempat makan dalam perjalanan kami mampir dulu untuk breakfast di Starbucks dan sebuah keharusan untuk mampir di starbucks Jepang karena mereka sering menyediakan menu sesuai dengan musim yang sedang berlangsung, dikarenakan saat ini sudah masuk musim semi biasanya mereka menyediakan banyak menu dengan sakura flavor yang katanya rasanya seperti cherry. Sayangnya menu musim semi yang tersisa di hari itu tinggal puding sakura saja -_-; karena nggak mau melewatkan kesempatan kami tetap membelinya. Satu hal lagi, starbucks selalu mendesign thumbler sesuai dengan musim juga dimana thumbler2 tersebut sangat collectible, dan karena bersifat limited edition maka jika dijual di Indonesia biasanya harganya sangat tinggi. Sudah lama sekali saya mengincar Thumbler musim semi edisi Jepang ini, tentunya sudah sampai di Jepang kami harus membeli-nya :). Setelah mengisi perut kami berjalan ke tempat dimana Giant Clock Ghibli berada, agak membingungkan karena walaupun di google maps sudah menandakan we have reach to destination tapi sama melihat sekitar gedung sama sekali tidak terlihat ada sebuah jam raksasa, akhirnya mengingat saat mencari livesize Gundam di Odaiba kami langsung berpikir jangan-jangan posisinya ada diatas, dan kebetulan disana ada jembatan yang bisa dinaiki, ternyata memang benar Jam tersebut ada di atas teras/jembatan yang terhubung dengan gedung Nippon TV. Sebenarnya jam ini akan berdentang dan bergerak di pukul 3 dan 6 sore, sayangnya karena kami masih ada itinirary lain kami hanya ada waktu mengunjunginya di pagi hari ini saja. Selanjutnya kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Imperial Palace.

Imperial Palace, Shimokitazawa & Yoyogi Park

imperial palace adalah tempat yang pada awalnya ingin kami kunjungi di hari pertama namun tidak jadi karena tidak sempat. Sayangnya ternyata setiap hari Jumat Imperial Palace ditutup untuk publik, jadi kami hanya bisa berkeliling ditaman depan gerbang-nya saja. Agak kecewa tapi melihat sudah banyak bunga sakura yang tumbuh disekeliling taman cukup mengobati rasa kecewa kami, setelah puas berjalan keliling sambil memutuskan rencana selanjutnya

Setelah beberapa pertimbangan kami memutuskan untuk ke Shimokitazawa dimana area ini terkenal dengan toko-toko yang menjual barang vintage & secondhand. Tidak tahu kenapa sejak kembali dari Australia saya jadi suka mengunjungi secondhand market, terutama untuk membeli barang-barang yang penting tapi jarang bisa dipakai, contohnya perlengkapan musim dingin. Karena sudah beberapa kali mengunjungi negara yang iklimnya cukup dingin namun temperature-nya berbeda-beda saya mulai menyadari perlunya beberapa stock jacket untuk kondisi iklim di musim yang berbeda.

Setelah berkeliling banyak toko bingung mau cari apa, di sebuah toko vintage clothes bernama Chicago saya menemukan sebuah jacket panjang berbahan PU leather windproof berwarna biru donker dan tentunya hanya ada satu ukuran (karena barang secondhand), waktu dicoba…. langsung merasa kereeennn…. karena sekilas jacket ini mirip dengan Jacket yang dipakai Tina Goldstein di Fantastic Beast 2 saat dia menjadi auror. Harganya jika dirupiahkan hanya Rp. 210.000, kancing pada bagian lengan kanan sudah agak kendur tapi tidak masalah karena bisa dijahit sendiri, selebihnya kondisinya masih 90%. Cici saya pun menemukan Jacket yang ia naksir 😀 . Dari chicago tadinya kami berencana kembali ke Asakusa mencari oleh-oleh untuk ortu, namun sewaktu kembali ke stasiun shimokitazawa yang ternyata dekat dengan stasiun Yoyogi, kami mendengar percakapan warga lokal yang berencana melakukan hanami di Yoyogi park (walaupun sedikit tapi percakapan sederhana dalam bahasa Jepang masih bisa kami pahami). Dari situ kami tau bahwa Sakura di Yoyogi hari itu sudah fully Bloom, akhirnya kami mampir dulu ke Yoyogi Park mengikuti warga lokal, sekalian mencoba foto dengan jacket yang baru dibeli he..he..

Jujur jacket PU Leather ini windproof tapi untuk di suhu saat itu sekitar 9ºC saya seharunya mengenakan pakaian layering yang lebih tebal -_-; karena cuacanya agak mendung jadi dingiiiinnn…Akhirnya setelah sekian lama bisa merasakan yang namanya hanami, sayangnya tidak bisa ikut nimbrung bersama warga lokal yang piknik dibawah pohon ha..ha.. supaya lebih berasa hanami-nya

Setelah waktu menunjukan pukul 4 sore, suhunya semakin dingin & nggak tertahankan lagi kami kembali ke hostel di Asakusa untuk menghangatkan diri sebentar & meletakan barang belanjaan, lalu keluar lagi ke Orange Street untuk membeli oleh-oleh buat ortu yang sejak kemarin belum bisa menemukan barang yang cocok. Orange & Denbouin Street ini sebenarnya sangat dekat sekali dengan tempat kami menginap, hanya saja kami selalu pergi pagi hari dimana toko masih tutup dan pulang malam hari dimana toko sudah tutup, jadi sama sekali tidak sempat melihat lihat barang yang dijual. Untungnya hari itu kami kembali pukul 5 sore beberapa toko masih buka, jadi masih sempat berbelanja dan melihat-lihat.

Kami tidak menghabiskan banyak waktu hari itu karena besok adalah hari kepulangan kami hiks…(tidak rela) jadi malam ini harus packing.

30 Maret 2019, Narita

Pelajaran yang saya dapat jika ke Tokyo, sebaiknya jangan pergi atau pulang dari Narita karena sangat jauh dari pusat kota Tokyo lain kali saya lebih memilih Haneda, dan yang membuat kami was-was adalah ternyata kereta untuk menuju Narita hanya ada di stasiun-stasiun tertentu saja. Setelah melakukan survey malam sebelumnya dibantu oleh Aki, dengan keberangkatan pesawat pukul 9 am kami memutuskan paginya untuk berangkat ke stasiun dari hostel pukul 4 pagi, melalui stasiun terdekat yang bisa ditempuh dengan jalan yaitu Tawaramachi, namun ternyataa….. Pintu stasiun masih ditutup (di google maps tidak ada informasi jam buka stasiun) dan kami tidak tahu sebenarnya jam berapa stasiun baru buka, mengingat perjalanan ke Narita sendiri dengan MRT memakan waktu 1 jam lebih, tentunya ketakutan kami adalah tidak akan keburu untuk check in pesawat saat di Bandara nanti. Akhirnya kami menuju pos polisi terdekat (satu-satunya yang available & bisa ditanya diwaktu subuh ini) menanyakan tentang alternatif lain menuju Narita. Si polisi menyarankan kami naik Taxi, tapi setelah dihitung-hitung biayanya bisa sampai 2jt tentunya bukan opsi yang akan kami pilih, lalu opsi lain yang polisi itu tawarkan adalah jalan ke Ueno stasiun, karena disana ada beberapa pilihan kereta untuk menuju stasiun, dan sudah buka sejak pagi. Setelah melihat di google maps waktu yang diperlukan untuk menuju ueno station dengan berjalan adalah 30 menit, tanpa buang waktu kami berlari-lari sambil menarik koper naik, turun jembatan penyebrangan secara manual karena lift & tangga jalan masih belum beroperasi -_-; benar-benar olah raga dipagi hari. Sampai di Ueno station kami kesulitan mencari peron yang menuju ke Narita, setelah menanyakan bagian informasi ternyata kami harus keluar gedung dulu dan masuk ke gedung stasiun ueno yang lain yang mana lokasinya sangat jauh akhirnya kami terlambat naik MRT dimana keberangkatannya hari itu hanya satu-satunya, kemudian saya ingat Aki memberikan alternatif lain yaitu naik kereta cepat skyliner, kereta ini berangkat 1/2 jam lebih lambat dari MRT tapi akan sempai di waktu yang bersamaan, hanya saja biayanya lebih mahal. Karena tidak ada opsi lain kami mengambil alternatif ini, dan untunglah akhirnya bisa tiba di Bandara pukul 7 pas 2 jam sebelum keberangkatan.

Pengalaman ini persis dengan pengalaman kami pertama kali ke HK dimana bandaranya sangat complicated dan memakan banyak waktu dari tempat check in menuju gate. Hanya saja di Jepang ini yang rumit adalah stasiunnya. Tapi sudah lama sekali rasanya saya tidak merasakan petualangan seperti ini, mendebarkan dan akan jadi cerita yang lucu jika di ingat-ingat kembali.